Catatan Perjalanan

SLAMET… YO WIS LAH…

“Kabut tebal merayap di permukaan tanah merah yang rapuh. Sementara badai dingin mulai datang menerjang dan menghempaskan apa saja yang dilaluinya. Puncak Slamet sesekali nampak dengan gagah namun perlahan mulai kabur dari pandangan, terhalang tabir misteri yang dimuntahkan dari kawahnya. Berkawan sepi, empat orang anggota TIM Ekspedisi Slamet-Mahameru bersiap meraih puncak kedua di Pulau Jawa. Inilah kisahnya…..

Yogyakarta 30 Maret 2007

                            Hari yang cerah, matahari bersinar terik, seakan memberikan isyarat bahwa musim hujan akan segera berakhir, ketika Tim Ekspedisi Slamet-Mahameru bersiap berangkat dengan iringan doa kawan-kawan di kampus FISE-UNY. Perlahan kami berangkat menyusuri panasnya jalanan kota Jogja menuju Giwangan untuk menumpang bus jurusan Jogja-Purwokerto yang akan mengantarkan kami ke tujuan akhir, pendakian menuju puncak Gunung Slamet.

                            Slamet, sebuah nama yang sederhana namun penuh makna. Kata slamet berasal dari bahasa jawa yang berarti selamat. Benarkah demikian? Toh gunung dengan ketinggian 3428 Mdpal ini senantiasa menyimpan misteri. Medan yang berat,  curah hujan tinggi, hingga kisah mistis yang kuat, serta banyaknya korban dalam ekspedisi di gunung slamet, membuat kebanyakan pendaki harus berpikir dua kali sebelum menjejakkan kaki di gunung ini, begitupun dengan kami. Setelah sebelumnya sempat tertunda dua minggu akibat efek badai dan meningkatnya aktivitas Gunung Slamet, ekspedisi dilaksanakan.

                            Hari semakin terik. Kota demi kota terlewati. Perjalanan panjang ke Purwokerto menyisakan banyak cerita buat kami. Kisah yang kadang lucu, kadang membosankan, kadang pula menjengkelkan menyertai perjalanan panjang ini. Empat jam perjalanan kami tiba di Sokaraja untuk selanjutnya meneruskan perjalanan dengan menumpang bus jurusan Bobotsari. Dan akhirnya, dengan fisik yang telah letih pukul 4.30 sore kami tiba di pertigaan serayu, pintu gerbang menuju Bambangan, base camp pendakian Gunung Slamet.

Dua preman berhati nyaman

                            Dari pertigaan serayu menuju Bambangan satu-satunya alat transportasi adalah dengan menumpag pick-up bak terbuka atau dalam bahasa setempat disebut montor coak. Agaknya kami kurang beruntung sebab sampai di pertigaan serayu terlalu sore. Tarip rata-rata ke Bambangan adalah Rp 10.000,- per orang, sedangkan pada waktu sore seperti sekarang biaya bisa membengkak menjadi Rp 15.000,- per orang. “Bambangan jauhnya 20 km dari sini (pertigaan serayu) mas, sedangkan njenengan cuman empat orang, demikian penuturan seorang lelaki setengah baya yang sehari-hari bekerja sebagai manol angkutan di daerah itu dengan logat ngapaknya yang kental. Lama kami mempertimbangkan tawaran sambil berdiskusi kecil dengan seorang preman yang nampaknya begitu ramah dengan kami. Barangkali kami terlalu kusam untuk dipalak, he..he.. tapi dari cara bicaranya terlihat sekali bahwa dia menyimpan simpati yang dalam terhadap para pendaki.

                            Akhirnya tawaran kami ambil, jalanan yang basah sehabis hujan mengantarkan keberangkatan kami. Eh, sempat pula kami disuguhi pemandangan menggelikan ketika seorang sopir angkutan dipalak sang preman. Sejurus kemudian kendaraan melaju kencang menembus senja yang dingin. Menjelang maghrib, dalam keremangan desa dengan senyum ramah para penduduknya, kami berempat yaitu Aku, Deni, Wiwin, Dan Simuh tiba di base camp pendakian Gunung Slamet di Dusun Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga. Dusun terakhir menuju puncak Gunung Slamet.

Hujan gerimis di Kutabawa

                            Malam semakin dingin, tapi bambangan mala mini Nampak begitu hidup dengan suara rebana yang bertalu menggema di punggung Gunung Slamet. Segelas teh tawar khas pedalaman purbalingga menghangatkan malam yang berbalut canda tawa. Menjelang isya hujan gerimis mula turun seiring suara rebana yang terhenti, seakan lelah ditabuh. Puncak slamet nampak timbul tenggelam oleh awan gelap yang menggantung. Hujan mulai turun, tdak telalu deras, namun berlangsung cukup lama, dan kami putuskan untuk menunda perjalanan sampai cuaca benar-benar membaik. Sementara menunggu hujan reda, terbungkus selimut tebal dan suasana alam yang damai, tak terasa kamipun tertidur.

                            Pukul 10.30 malam kami terbangun, setelah packing ulang dan sempat berbincang sejenak dengan petugas base camp, aku dan deni keluar, menggeliat dalam keremangan malam. Cuaca malam ini sungguh sempurna, bulan purnama berseri, Gunung Slamet Nampak gagah menjulang tanpa terhalang kabut sedikitpun. Semangat kami kembali menyala meskipun sesekali terhimpit pula oleh kekhawatiran yang menyeramkan. Usai berdoa kami berangkat, menyusuri beberapa puluh meter sisa jalanan aspal dusun bambangan yang basah oleh hujan. Malam begitu sunyi, hanya suara alam yang terdengar begitu damai menenteramkan jiwa. Jutaan bintang bertaburan menghiasi langit malam, seakan beradu dengan kerlip lampu kota dibawah sana. Sungguh indah…..

Menembus hutan rimba Gunung Slamet

                            Meninggalkan dusun bambangan, kami berjalan melalui ladang penduduk. Perjalanan yang menyenangkan dibawah cahaya bulan yang menerangi setiap langkah. Medan tidak terlalu berat, sesekali kami berjalan melewati sungai tanpa jembatan yang airnya mengalir gemericik dalam kegelapan, terasa begitu damai didalam hati. Memasuki wilayah perhutani, tak lama kemudian kami sampai pada sebuah tanah lapang yang cukup luas yang biasa digunakan sebagai tempat berkemah (camping ground). Dari sini medan mulai menanjak terjal, dan setelah beberapa kali wiwin mengeluh kehabisan nafas, akhirnya sampailah kami pada batas antara perladangan dengan wilayah hutan.

                            Hutan gunung slamet sangat lebat dengan pohon-pohon besar dan dedaunannya yang begitu rimbun sehingga sinar bulan tidak dapat menembus kedalam hutan. Berada dalam kegelapan, tiba-tiba suasana berubah menjadi mencekam. Apalagi mala mini tidak ada pendaki lain selain kami. Sepi sepanjang perjalanan. Hutan di slamet sungguh masih asli dan terjaga. Tidak ada petunjuk jalan (rambu pendakian), tidak ada sampah, hanya ada serasah dedaunan yang bertumpuk sepanjang jalan.

                            Waktu mulai tengah malam, kami berempat masih berada di dalam kungkungan hutan gunung slamet. Tidak ada pendaki lain, Susana gelap, sepi, dingin, dan mencekam. Hanya suara-suara binatang malam memecah kesunyian. Kami terus melangkah diantara rimbun dedaunan dan batang pohon berukuran raksasa. Medan semakin lama terasa semakin berat terkadang jalan yang kami lalui terhalang pohon tumbang sehingga kami harus merayap di bawahnya. Sesekali pula jala yang licin dalam hutan ini terputus, sehingga untuk dapat melewatinya kami harus bergelantungan pada akar. “untung malam ini tidak hujan sebab betapa licinnya bila jalanan ini basah”, pikirku. Malam mulai beranjak dini hari, kami masih berjuang keras menyeret langkah dalam kegelapan hutan.


Catatan Perjalanan Merapi

mahameru-merapi volcano expedition    31 desember 2007-1 januari 2008

2008 di puncak garuda


“Detik-detik menjelang pergantian tahun, saat kebanyakan orang berkumpul di berbagai sudut kota dalam meriahnya suka cita, jauh di sana di rimba dan bebatuan Merapi ratusan pendaki terjebak dalam badai, untuk hal yang sama, merayakan malam pergantian tahun. Tak ada bunga api yang berpendar mengangkasa memang, pun dengan tiupan terompet tahun baru, selain hanya desiran nafas yang terus mencoba bertahan dalam gemuruh angin dan kabut yang semakin pekat. Sungguhpun demikian, dalam hati kami masih bisa merasakan kemeriahan yang sama, semangat yang sama, serta doa dan harapan yang terlukis dalam wajah-wajah bahagia meskipun maut terus mengintai setiap saat dari berbagai penjuru arah”.  

Dari sini semuanya berawal

            Dikalangan para penggiat alam bebas-khususnya pendaki gunung-malam pergantian tahun memang menjadi saat-saat yang dinantikan untuk melakukan petualangan. Sebuah hari yang spesial dimana pencapaian yang berhasil diraih akan bermakna ganda dan itu artinya memberikan kepuasan batin yang tak terlukis dengan kata-kata. Dalam rangka “hajatan besar” ini pulalah sedianya MPA-Mahameru FISE UNY akan membuka even pendakian massal ke Gunung Sumbing. Namun terkendala oleh keadaan alam-terutama cuaca-terpaksa rencana dibatalkan.

Dan sebagai penggantinya terbentuklah tim ekspedisi Mahameru yang akan melakukan perjalanan panjang menuju puncak Gunung Merapi. Tim terdiri atas 11 peserta yaitu Aku, Ucup, Rohmad, Danang, Riza, Agus, Tyo, Inda, Sumanto, Niko, dan Simuh.  Dalam perjalanan sahabat kami Adhi-mapala salah satu PTN di kota Solo-menggenapkan jumlah anggota tim kami menjadi 12 orang. Pukul sepuluh pagi kami berangkat dari Jogja dan setelah melalui beberapa kali persinggahan, sekitar pukul pukul tiga sore kami tiba di tempat tujuan, base camp pendakian Gunung Merapi, Selo, Boyolali.

Menunggu reda hujan di senja hari.

            Di base camp kami hanya menitipkan sepeda motor untuk seterusnya melanjutkan perjalanan beberapa ratus meter lagi ke joglo atas New Selo. Tempat ini memang sengaja kami pilih sebagai base camp. Joglo New Selo sendiri merupakan salah satu tempat di lembah Merapi-Merbabu -tepatnya lereng Merapi- wilayah kota Kecamatan Selo yang elok dan sejuk-sehingga ada ungkapan yang mengatakan Selo sebagai Swiss Van Java-,tidak terlalu berlebihan memang. Dari tempat dengan ketinggian sekitar 1700 mdpal ini kita dapat melihat pemandangan Gunung Merbabu di sebelah utara dan Kota Selo di bagian bawah, tepat pada pertemuan kaki gunung Merapi dan Merbabu.

            Sampai di tempat tujuan ternyata telah cukup banyak pendaki yang singgah disini. Tak lama berselang hujan mulai turun bersama tiupan angin yang cukup kencang dari arah barat. Udara semakin terasa dingin. Sambil menunggu dan berharap cuaca membaik sebelum isya, kami mendirikan satu tenda sebagai tempat peristirahatan. Bekal nasi dan daging ayam yang sempat dimasak sebelum keberangkatan menjadi menu makan malam kami. Rasanya cukup enak, dan indahnya kebersamaan inilah yang membuat makan malam ini lebih terasa nikmatnya.

            Senja berlalu begitu saja tanpa ada pemandangan sunset. Bahkan cuaca semakin memburuk menjelang maghrib. Kami tak ingin terlalu terburu-buru mengawali pendakian, karena disamping tidak terlalu terbebani target juga berada di ketinggian dalam cuaca buruk terlalu beresiko. Apalagi pada penghujung tahun seperti ini biasanya Merapi sedang gencar-gencarnya dilanda badai.

Menghadang badai-membelah malam

            Pukul 7.30 malam cuaca membaik, angin yang semula bertiup kencang seperti tiba-tiba saja berhenti bersamaan dengan surutnya hujan. Gunung Merbabu tampak berdiri gagah didepan kami, bersih, dengan sedikit awan tersisa di bagian puncak.

            Usai melakukan segala persiapan, briefing sebentar, dan berdoa kami memulai perjalanan. Medan awal kami adalah melintasi perladangan penduduk. Kami cukup dikejutkan dengan keadaan medan yang berubah drastis, setidaknya bila dibandingkan dengan keadaan saat terakhir kami melewatinya sebulan lalu, atau bahkan seminggu yang lalu ketika aku mendaki bersama Adhi. Longsor terjadi dimana-mana, dan lintasan yang semula cukup nyaman kini telah berubah menjadi ‘selokan’ yang cukup menyulitkan dan membuat kami harus lebih berhati-hati.

            Memasuki wilayah hutan, keadaan medan cenderung normal, kedatangan kami langsung saja disambut dengan angin kencang yang menderu mengibaskan dedaunan cemara. Angin memang tidak terlalu dingin seperti pada musim kemarau tetapi kencangnya angin dapat menggoyahkan badan saat berdiri. Tapi untung saja angin ini tidak membawa muatan badai, kabut yang pekat penuh dengan uap air. Cuaca tetap cerah, bersih, dan segarnya hawa gunung terasa sejuk memenuhi rongga paru-paru kami.

            Kami masih berjalan perlahan dalam hutan. sepanjang jalan sangat padat oleh pendaki sehingga Rohmad menyebutnya sebagai ‘jalur tol jagorawi’. tidak terlalu banyak kesulitan yang berarti selain hanya angin yang bertiup kencang. Perjalanan sangat kami nikmati dan dinginnya malam tak terlalu terasa dalam hangat balutan canda tawa. Sepanjang perjalanan Sumanto yang paling sering dijadikan ‘tumbal’ pemantik tawa. Ya… sekedar untuk obat lelah, dan tak terasa hampir dua jam kami berjalan ketika Danang meminta istirahat tepat di shelter dua, dimuka percabangan antara jalur lama dan jalur baru.

            Masih dalam hembusan angin kencang, tiba-tiba malam menjelma menjadi surga dunia yang sangat indah. Awan tercerai berai oleh angin, sisanya terhempas jauh ke sudut kesunyian. Hening mulai merasuk dalam kegelapan bersama nyanyian alam yang terdengar merdu, begitu tenang, begitu damai, begitu bening. Sedang dikejauhan sana hamparan lampu kota berkerlip bagai nyala jutaan bintang membentuk berbagai rasi dan bertebaran di cakrawala malam. Sangat indah. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam ketika beberapa kali kembang api meledak dan berpendar diatas langit kota, mulai melakukan ‘provokasi’, seakan mengingatkan orang-orang untuk terus terjaga sampai detik-detik pergantian tahun tiba. Kami masih berdiri dengan takjub menatap kerling lampu kota dikejauhan sana.

            Angin kencang kembali bertiup, bahkan semakin kencang, menyentak kami dalam keterpesonaan akan indahnya malam. Kamipun melanjutkan langkah, sekitar duapuluh menit berjalan kami tiba di puncak punggungan bukit, tugu perbatasan, dan akhirnya shelter tiga tepat dimuka tanjakan curam menuju watu gajah.

            Sekonyong-konyong malam berubah muram. Apa yang kami takutkanpun akhirnya terjadi, badai datang menelan segala keindahan malam. Dan dimulailah babak-babak menegangkan dalam pendkian ini. Suasana berubah mencekam. Canda tawa seakan berhenti bagai dikomando, lenyap begitu saja bersama hilangnya pemandangan indah yang tertutup oleh tirai kabut tebal. Banyak pendaki memang, tapi entah kenapa suasana tetap saja terasa beku, bisu. Seakan semua pasrah saja terjebak dalam suasana ‘aneh’ ini, entah sampai kapan. ketika kami mulai mendaki jalur terjal berbatu menuju watu gajah, badai terus datang bergemuruh, susul menyusul seakan seakan hendak menyerang kami dengan membabibuta. Lupakan soal lampu kota dan cahaya kembang api yang sedianya ingin kami nikmati dari atas sana, tak ada pemandangan selain hanya kabut tebal yang semakin menambah muramnya malam. Tak ada cahaya rembulan dan bintang. Dan sialnya cahaya lampu senter kamipun setali tiga uang, susut satu persatu.

Selamat tahun baru 2008

            Dengan mengandalkan perasaan kami terus merayap di lintasan berbatu. Perjuangan keras kami ternyata tak sia-sia, setelah hampir satu jam berjalan kami mencapai tugu perbatasan kedua, dan akhirnya watu gajah. Disini terdapat tempat yang sangat ideal untuk mendirikan tenda dengan tanah agak lapang  di bawah lintasan pendakian pada tebing sebelah timur, cukup aman terlindung dari badai yang datang dari barat. Tapi sayang ternyata tempat yang dituju telah dipakai oleh pendaki lain dan dengan sedikit menggerutu kami pindah menuju tempat lain yang sesuai rencana B kami pilih sebagai lokasi camp.

            Badai belum Nampak akan reda ketika kami sampai di tempat tujuan. Kamipun mendirikan dua tenda. Saat mendirikan tenda pertama waktu telah menunjukkan pukul 23.57, akupun bisa membaca pikiran teman-teman yang pasti semuanya sama, “sebentar lagi tahun 2007 akan berakhir”.

            Kami masih sibuk mendirikan tenda ketika tanpa kami duga, tiba-tiba.. “Dor..” sebuah ledakan diikuti semburat cahaya merah membelah mendung diatas langit Merapi. Ya, sebuah kembang api, cukup menjadi surprise buat kami dan mungkin juga ratusan pendaki lainnya. Diikuti oleh ledakan kedua, ketiga, dan seterusnya yang semakin menambah meriahnya malam pergantian tahun meskipun tidak sampai satu menit pesta kembang api ini berlangsung. Dan dengan jabat tangan mesra kuucapkan kepadamu “selamat tahun baru 2008”.

            Usai mendirikan tenda dan ‘makan tengah malam’ dengan menu mie rebus ala chef Danang, kamipun berangkat tidur. Tenda satu dengan keadaan yang lebih baik-terlindung oleh vegetasi dari badai-dibanding tenda dua, ditempati oleh enam orang yaitu Riza, Inda, Sumanto, Tyo, Agus, dan Rohmad. Sedangkan tenda dua-yang keadaannya sangat memprihatinkan, terombang-ambing oleh badai-ditempati lima orang yaitu Aku, Adhi, Simuh, Niko, dan Ucup. Danang sendiri malah memilih tidur diluar tenda berselimutkan kain penutup yang terlepas dari tenda dua. Tapi betapapun keadaannya, lelah ternyata berhasil mengalahkan segalanya, kamipun kemudian lelap dalam kehangatan mimpi masing-masing. Sebelum tidur aku sendiri sempat tertawa geli melihat begitu menderitanya tenda yang kami tempati ini, terombang-ambing kesana-kemari bagaikan biduk di tengah lautan. dalam doa menjelang tidur kami selipkan doa harapan, semoga framenya tidak patah.

Ranting Perdu, Route Flag Sederhana

            Pagi-pagi sekali Simuh sudah membuat ‘kegaduhan’ yang membuat kami semua terbangun meskipun masih agak malas. Rupanya cuaca cerah yang membuatnya begitu girang, seperti sudah sekian lama terkungkung kegelapan. Kami semua keluar, ternyata benar cuaca cerah. Gunung Merbabu, Sumbing, Sindoro, dan Dieng berdiri dengan gagah seakan menjadi benteng dari hamparan hijau nan damai dibawah sana. Sisa-sisa badai masih ada beberapa puluh meter diatas kepala kami yang membawa kami pada satu kesimpulan “Pasar Bubrah sampai puncak masih dilanda badai.”

            Setelah melakukan segala persiapan, kami siap berangkat menuju puncak. Angin masih bertiup kencang, sesekali badai datang. Ternyata Danang memilih tetap tinggal di camp, rela kami tinggalkan seorang diri demi melanjutkan kehangatan mimpinya yang sempat terusik. belajar dari pengalaman yang lalu dalam menghadapi badai, aku memotong beberapa ranting perdu untuk digunakan sebagainavigasi agar bila badai datang menghalangi pandangan, kami masih memiliki acuan agar tidak tersesat. Bagi diriku sendiri, trauma pendakian Merapi seminggu yang lalu masih terus membayangi, ketika itu badai datang dan hampir saja kami tak bisa kembali karena tersesat.

            Kami masih berjalan melalui medan yang rapuh. Konsentrasi tinggi sangat dibutuhkan disini, apalagi badai terus datang semakin menambah sulitnya perjalanan. Sekian menit kemudian, diantara kabut tebal yang menghalangi pandangan kami sampai di puncak sebuah punggungan bukit, Pasar Bubrah.

            Keadaan sangat ramai oleh pendaki meskipun badai belum nampak akan berhenti. Dengan tekad bulat kami memutuskan untuk terus mendaki sampai ke Puncak Garuda. Aku berjalan dimuka, mencoba mencari jalan paling baik dan paling mudah untuk dilalui. Setiap beberapa meter route flag dari ranting perdu kami pasang. Keadaan cuaca tidak menentu, terkadang cerah, terkadang badai. Puluhan kelompok pendaki hilir mudik di sepanjang lintasan berbatu ini. Mendaki dari Pasar Bubrah menuju Puncak Garuda adalah bagian tersulit dari seluruh perjalanan mendaki Gunung Merapi.

Hampir satu jam berjalan, aroma belerang mulai menyengat, kadang terasa menyesakkan nafas, kadang menyebabkan otak terasa sakit, sementara kabut tebal menghalangi pandangan, jalan yang kami lalui perlahan mulai berbatasan langsung dengan jurang, kami telah sampai di kawah mati dan beberapa menit kemudian tibalah kami di Puncak Garuda, bergabung bersama-sama dengan ratusan pendaki dari berbagai kelompok. Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan panjang dengan segala kesulitannya akhirnya kami sampai di Puncak Gunung Merapi.

Akhir Sebuah Perjalanan

            Setelah sujud syukur dan saling mengucapkan selamat sebagai ungkapan kebahagiaan kami beristirahat di puncak, berfoto dalam cuaca yang cerah sempurna, serta kemudian melaksanakan prosesi ‘adat’ menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil mengibarkan Sang Dwiwarna. Tidak terlalu lama kami di puncak, karena waktu mulai beranjak siang kami memutuskan untuk segera turun dengan membawa berjuta rasa syukur dan cinta kami kepada ibu pertiwi di dalam dada.

            Perjalanan turun lebih cepat dari saat mendaki sehingga tak sampai satu jam kami telah sampai kembali ke camp, menjumpai Danang yang setia menunggu dalam nyenyak tidurnya. Sambil beristirahat kami menyiapkan sarapan sebagai bekal tenaga untuk turun dan terus pulang. 

            Usai sarapan dan membongkar tenda ‘keselamatan’, kami segera turun. Awan perlahan mulai bergerak naik, kami terus berpacu dengan waktu bersama dengan ratusan pendaki lain, melahap jalanan sempit yang semakin sulit akibat hujan. Setelah beberapa jam berjalan kami sampai di New Selo yang ternyata telah sangat ramai oleh para wisatawan yang menikmati liburan di gardu pandang New Selo. Kami terus melanjutkan perjalanan ke Base Camp, mengambil sepeda motor yang kami titipkan, dan terus pulang ke Jogja tentunya dengan beberapa kali persinggahan untuk menikmati Tahun Baru yang indah ini.


  Ciremai-Mahameru expedition

(11-12 November 2006)

  MENYERAH DI LINGGARJATI

Akhirnya…
Pendakian yang telah terencana dengan sangat matang ini harus terhenti di tengah jalan. Terlalu banyak hal-hal non-teknis yang tidak bisa di jelaskan dengan logika. Saat itu hanya naluri bertahan hidup yang bisa menyelamatkan kami. Segala teori seakan-akan menjadi nol dan nyaris tidak berfungsi. Kamipun akhirnya harus legowo menerima kegagalan dan mesti menggulung kembali keinginan untuk menggapai Puncak Ciremai. Pendakian inilah yang akhirnya mengungkap sisi lain sebuah perjalanan alam bebas yang selama ini kurang dipahami oleh kebanyakan pendaki. Dan bagi kami, pendakian ini adalah pendakian paling aneh, paling irrasional, dan paling berbeda dari pendakian lainnya. Dengan petunjuk dan kemurahan hatiNya jualah kami bisa kembali. Dan akhirnya… misteri selamanya tetap menjadi misteri…
Tarmedi, lagi…
Sudah lewat pukul sepuluh malam, kami gelisah menanti datngnya kereta. Malam ini benar-benar menjadi maalam yang memuakkan bagiku. Kereta terlambat datang, sementara ratusan penumpang sudah bertumpuk di stasiun lempuyangan. Sebuah keadaan yang tentu saja membuat kami semakin kesal. Untuk menghilangkan kebosanan kami memilih duduk menyendiri di bagian lain stasiun yang tidak terlalu ramai, bahkan cenderung sepi dan remang-remang. Yah, sesuai usul Adi, siapa tahu ada sedikit ‘pemandangan malam’ yang bisa membuat kami melupakan kepenatan sembari menantikan datangnya kereta. Aku menurut saja, begitupun kawan-kawan yang lain, Adi kan ‘Jagger‘ kota Jogja yang namanya telah tenar dan paham betul dengan kehidupan nakal di sekitar sini.
Kereta belum juga tiba, ada sedikit cerita ketika seorang lelaki muda dan kawannya (yang tampaknya lugu) mendekati kami. dengan bangga ia menggurui kami yang katanya telah berbuat kesalahan besar dengan membeli karcis kereta. “untuk apa? karcis tidak menjamin kita akan terbawa kereta, dan sebaliknya tanpa karcispun kita bisa sampai tujuan”, katanya dengan bangga. Kami semua hanya terdiam, dan dari sorot mata teman-teman aku bisa menyimpulkan satu pikiran kami yang semuanya pasti sama: “orang seperti inilah yang harus segera dienyahkan dari bumi Indonesia”.
Sejurus kemudian kereta tiba, penuh sesak luar biasa. Ironis memang, sebab apa yang dikatakan orang tadi benar, kami penumpang legal berkarcis tak bisa masuk ke dalam kereta. Apa-apaan ini? Kenapa ini bisa terjadi? Entahlah, yang kami tahu kami hanya bisa pasrah bila akhirnya harus gagal berangkat ke Banjar.
Dalam kegelisahan hati datanglah seseorang mendekati kami, Simuh agaknya mengenalinya dan sambil terus berusaha mengingat disapanya orang itu, dan… ingatan Simuh agaknya berhasil, ia mengenalinya sebagai pak tarmedi masinis asli Kota Banjar yang pernah ditumpanginya waktu ke banjar beberapa waktu lalu. Melalui Pak Tarmedi ini pulalah akhirnya kami bisa menumpang di lokomotif. Pilihan yang terpaksa harus kami ambil. Terpaksa? Ya… karena berada di lokomotif sempit selama enam jam dengan hampir 30 orang membuat kami semua sangat tersiksa, berdesak-desakan sepanjang malam, dan tak ayal lagi kamipun ‘bergantian’ sakit sepanjang perjalanan.
Selamat datang (kembali) di Kota Banjar
Pukul enam pagi, kami tiba di Stasiun Banjar. Kutarik nafas dalam-dalam saat keluar dari lokomotif yang sudah amat tercemar dengan berbagai aroma hasil produksi sepanjang malam. Aahh… aku merasa menjadi orang yang baru dibebaskan dari hukuman mati. Tak terlalu lama Deni segera menemukan kami yang langsung menyambut kami dengan tawa geli melihat Adi keluar dalam keadaan pucat dan sangat lemah. Kami sampai di rumah Deni, dan tanpa dikomando langsung bergelimpangan di lantai…
Hari ini kami nyaris tidak bisa melakukan apa-apa, pun dengan hari berikutnya. Rohmad dan Simuh memanfaatkan saat jeda ini dengan berkunjung ke rumah gadis tetangga, bersama Deni tentunya. Malamnya, baru kami melakukan berbagai persiapan. Belajar dari pengalaman pendakian Ciremai yang telah lalu, kami tidak akan main-main lagi, tidak akan nekat lagi, dan semua telah di persiapkan dengan perhitungan yang sangat matang. Sepanjang malam kami melakukan persiapan dan akhirnya beristirahat menjelang tengah malam.

                                                        *****

            11 November 2006 pukul 7.30 pagi akhirnya kami berangkat, dan setelah menemukan angkutan dengan tarip yang cocok akhirnya kami meninggalkan Terminal Banjar menuju Ciamis dan selanjutnya menumpang bus jurusan Cirebon ke Linggarjati[2]. Banyak kejadian lucu dalam perjalanan ini[3] termasuk Adi yang jauh sebelum memulai perjalanan sudah kuancam agar tidak mabuk perjalanan lagi seperti dulu, dan ternyata Adi berhasil. Tapi sekuat apapun kami bertahan toh tenaga akhirnya terkuras juga, sungguh perjuangan yang luar biasa. Sampai di Cilimus selepas adzan dhuhur kami memutuskan untuk singgah di masjid terlebih dahulu untuk kembali menghimpun tenaga sebelum melanjutkan perjalanan ke base camp Linggarjati[4].

            Belum apa-apa kami sudah kelaparan, apa mau dikata, toh bekal yang ada bagaimanapun harus kami atur sehemat mungkin. Begitupun dengan uang jajan, kami berpikir lebih baik kelaparan sekarang daripada menderita di gunung dan kehabisan tenaga saat pulang. Untung Deni membawa beberapa buah mangga, saying masih mentah, masih keras dan masam, tapi kami berhasil menyiasatinya dengan memakan mangga bersama garam, ide aneh ini lagi-lagi adalah buah pikiran Deni.

            Makan mangga muda dengan dicampur garam ini tentu saja membuat kami semua sakit perut, namun hanya awalnya saja karena perut kami yang telah terbiasa seadanya kini segera berhasil menyesuaikan diri, “benar-benar organ yang baik bagi kami”. Perjalananpun kami lanjutkan, beberapa angkot kami acuhkan begitu saja, karena sekali lagi demi penghematan kami harus berjalan kaki dari Cilimus sampai base camp Linggarjati, sekitar lima sampai enam kilometer. Tak apalah sekalian pemanasan, dan serunya lagi sepanjang perjalanan ini banyak pemandangan indah bertebaran terutama di tempat-tempat wisata. Keadaan yang membuat watak urakan kami kambuh dan tanpa pernah sedikitpun terpikirkan oleh kami akan berakibat sangat fatal bagi perjalanan kami seterusnya. Kesalahan kecil yang harus kami bayar mahal dengan kegagalan, hanya karena kami kurang mampu mengaontrol perilaku diri.
Cibunar, sebuah petunjuk
Kami segera melewatkan begitu saja base camp Linggarjati karena sesuai rencana akan mengambil tempat camp di Cibunar, perkampungan pendaki yang sangat kaya akan air[5]. Setelah melewati semak belukar dengan mengais-ngais ingatan kami karena semak yang tumbuh cenderung menyamarkan jalur dan dapat menyesatkan, akhirnya tibalah kami di cibunar. Kami sempat beristirahat agak lama disini. Berfoto bersama, bercanda sambil mendaki pohon Carson yang buahnya tumbuh sangat lebat. Satu hal yang patut disesalkan adalah, bahwa ternyata canda-tawa kami agak kelewatan, disamping keadaan di Ciremai sendiri yang saat itu nampaknya sedang ‘tidak seperti biasanya’. Kami tidak menyadarinya sampai sejauh ini, banyak petunjuk yang gagal kami baca dan akhirnya nanti akan membuat kami masuk dalam sebuah keadaan yang sangat kritis. Sampai sejauh ini kami masih bisa tertawa, selepas ini tawa akan nyaris hilang hingga kami tiba kembali di Banjar esok.

            Hari merambat sore, cuaca pada umumnya baik, tapi suasana di cibunar ini sangat aneh. Dalam tertawa aku masih bisa merasakan hawa yang tidak seperti biasanya, keadaan yang sebenarnya membuat kami merinding. Canda tawa sebisa mungkin terus kami bangun untuk mengatasi keadaan ini. Keadaan aneh yang aku yakin juga dirasakan oleh kami semua, tapi entah kenapa sekalipun kami tidak pernah membahas tentang ‘keadaan aneh’ ini.

            Kami sempat shalat ashar bergantian di sebuah tempat duduk yang dibuat dari bambu. Suasana semakin terasa lain, kami semakin menyadarinya. Aku sendiri bahkan tak berani mengambil air wudhu sendirian ke pancuran yang letaknya hanya beberapa meter dari tempat kami, di balik pohon, aku mengajak simuh untuk menemaniku.

            Dari jauh terdengar samara-samar suara tawa banyak orang, ternyata serombongan pendaki camp di bagian lain dari Cibunar ini. Memang Cibunar memiliki lahan yang sangat luas dan terpisah-pisah karena tempatnya yang tidak datar. Selepas maghrib kami berangkat menyusuri jalan setapak meninggalkan Cibunar.

            Menjelang tapal batas terakhir Cibunar, hujan turun dengan sangat deras. Beruntung sekali di tempat itu ada sebuah warung yang langsung saja kami berteduh disitu. Sambil menunggu hujan reda kami berteduh segelas teh hangat dan keramahan pemilik warung rasanya meminta kami untuk tidak melanjutkan perjalanan dan tetap tinggal disini saja. Apalagi kami cepat akrab, sementara belum nampak tanda-tanda hujan akan reda. Dalam bincang-bincang dan tawa hangat kami dengan pemilik warung, sesungguhnya pikiran kami telah melayang-layang jauh sampai Puncak Ciremai, resah menunggu hujan yang tak kunjung reda.

            Tak lama hujanpun reda, kami segera melanjutkan perjalanan, melewati tanjakan pertama yang cukup terjal dan cukup rimbun dengan pohonan pisang. Tiba-tiba dari langit bulan purnama muncul membelah kegelapan awan yang tersisa setelah hujan, angina bertiup perlahan-lahan menyibakkan semak dan memain-mainkan daun pisang. Setapak demi setapak kami melangkah, tak terasa kami telah sampai di leuweng datar. Pemandangan puncak dari sini nampak jelas di bawah sorot cahaya purnama. Jalur ke puncakpun jelas terlihat, sangat terjal dan panjang.

  Kuburan kuda yang takkan terlupakan oleh Rohmad

            Malam semakin merayap bersama langkah kami menyusuri setiap relung-relung kegelapan. Leuweng datar sudah terlewati, bulan purnama kembali ditelan awan gelap. Hujan tidak pernah turun lagi tetapi awan gelap telah sirnakan segala cahaya. Sementara kami perlahan mulai masuk ke dalam hutan menapaki medan terjal selangkah demi selangkah. Jalan setapak ini sudah sangat rusak, kebanyakan berdebu tapi ada pula yang justru licin. Di beberapa tempat jalan terputus sehingga kami harus bergelantungan pada akar pepohonan untuk dapat melewatinya.

            Perjalanan mulai terasa  berat sekarang, entah kenapa Aku merasa seperti sedang membawa beban yang sangat berat hingga kaki sangat sulit untuk dibawa berjalan. Teman lain yang merasakan ‘keluhan’ yang sama denganku adalah Deni. Tapi yang membuat Aku kesal adalah petunjuk jalan yang dulu ada sekarang sudah banyak dilepas. Sepanjang jalan hanya ada tulisan “trak-trek” terus saja dan hanya itu-itu terus yang ada. Sempat aku berpikir apakah kami salah mengambil jalur? Aku bertanya kepada Deni dan iapun berpikir hal yang sama denganku. Akan tetapi tidak ada jalur lain yang nampak selain ini. Ketika kami menemukan plakat berturut-turut bertuliskan “Kuburan Kuda”, “Tanjakan Seruni”, dan “Tanjakan Bin-bin” kami baru menyadari bahwa kami tidak tersesat. Dan yang membuat kami sungguh-sungguh tak habis pikir adalah bahwa plakat itupun telah berubah tidak seperti yang kami lihat dulu.

            Kami terus berjalan, malam semakin larut dan sunyi, rombongan pendaki lain belum ada tanda-tanda akan menyusul. Aku merasa langkahku semakin berat, begitupun dengan Deni. Tapi disisi lain Rohmad dan Simuh justru terus mengajak berjalan, seperti ada sesuatu yang membuat mereka harus segera meninggalkan tempat ini secepatnya. Aku mengeluh, bukan saja karena lelah, tetapi atas kenyataan pendakian kali ini sungguh lain dari biasanya. Kami tidak kompak seperti biasanya, tapi atas sebab apa semua ini terjadi kamipun tidak dapat menjelaskannya. Aku dan Deni merasakan langkah kami semakin berat tapi Rohmad terus saja ngeyel mengajak berjalan. Suasana menjadi tegang, aku tak dapat menahan kesabaran lagi dan langsung saja marah-marah.

            Suasana hati akhirnya dapat kami redam, kami berusaha untuk saling memahami dan mengembalikan kekompakan tim kami demi menghadapi keadaan ini. Kami sadar yang sangat kami butuhkan saat seperti ini adalah kekompakan dan kekeluargaan. Akhirnya kami terus berjalan sembari sesekali beristirahat. Saat beristirahat Rohmad sempat bertanya kepada Simuh, “Muh apa kamu tadi melihat ada sebuah pohon yang terbakar di tepi jalan?” Simuh mengiyakan, lalu Rohmad melemparkan pertanyaan yang sama kepadaku. “apaan?... aku tak melihat apa-apa, pohon terbakar? tidak ada apa-apa” aneh memang, sebagian kami melihat pohon terbakar sedang sebagian lagi bahkan tidak pernah tahu apa-apa.

 

Malam yang amat mencekam

            Selain kami malam ini ada pula serombongan pendaki lain dari Cirebon, sepanjang jalan kami dan mereka saling susul menyusul.  Namun saat ini mereka masih tertinggal jauh dibawah. Malam semakin larut, berlima kami merasakan kesepian yang sangat, kesepian yang aneh dan sangat mencekam. Di sebuah tanjakan yang penuh dengan debu kami beristirahat, tempat istirahat ini sangat sempit sehingga kami terpaksa duduk ditengah jalur pendakian yang memang hanya jalan setapak. Deni yang berjalan paling depan duduk paling atas, Aku dibawahnya, dan seterusnya sampai Simuh yang berada paling bawah.

            Saat istirahat ini Rohmad sempat menceritakan kembali tentang pohon terbakar yang dilihatnya tadi. “beneran… pohonnya tadi masih berasap, persis di tepi jalan, masa kalian nggak lihat?” aku hanya menggeleng. Malam begitu sunyi hingga seteguk air yang mengalir di kerongkongan Adi saat dia minum pun terdengar jelas menggema memenuhi seluruh ruang malam. Angin bertiup lemah, sesekali, menemani serangga-serangga malam yang terus berderik seperti tak mengenal lelah.

            Sekonyong-konyong malam yang bisu terhenyak oleh suara aneh yang membuat kami semua panik. Ada sesuatu yang bergerak diatas dedaunan kering, suaranya terdengar sangat jelas, suara makhluk entah apa dan dia sedang berjalan turun dari atas persis di samping kiri tempat kami duduk. Setengah takut, Deni berkata kepadaku “Suara apa cah?”, “nggak tahu, tapi dari suaranya seperti rayapan ular, bukan seperti langkah kaki. Ular atau apapun yang jelas dari suaranya dia sangat besar.

            Kami panik, ditengah kegelapan dan kesunyian seperti ini kami mendapat terror. Makhluk apa itu? Binatang? Binatang betulan atau jadi-jadian? Lalu bagaimana kalau dia menyerang? Minta tolong kepada siapa? Kami semua berdoa memohon perlindungan kepada yang maha kuasa, sementara makhluk itu terus berjalan, dan kini ia bergerak memutar mengelilingi kami. Semua berada dalam ketegangan yang luar biasa. Dan… saat kami merasa ketakutan ini akan memuncak, tiba-tiba saja suara itu hilang lenyap dan tak pernah muncul lagi, entah karena apa. Semua terjadi begitu cepat. Kami merasa seperti hilang akal dibuatnya.

            Pergikah ia? Tidak ada yang menjamin. Yang paling baik adalah segera tinggalkan tempat ini, naik atau turun. Deni memimpin diskusi dan sebentar kemudian dalam bisik kata yang terdengar gemetar dicapai kesepakatan “kita naik” apapun yang terjadi kita serahkan kepadaNya, dan kita harus selalu bersama-sama. Kami melangkah naik, dan entah karena takut atau apa langkah kami menjadi tidak beraturan, semua ingin secepatnya lari meninggalkan tempat ini, akibatnya kami saling bertabrakan, yang dibelakang ingin segera lari mendahului yang didepan. Sementara terror nampaknya belum cukup akan berhenti, dari atas terdengar suara-suara binatang sangat gaduh, semua seperti berteriak-teriak, menjerit-jerit ditengah kegelapan malam. Ada apa ini?

            Yang jelas ada sebuah kejadian diatas. Tengah malam, binatang-binatang semestinya sedang terlelap tidur tapi ini tidak, suara-suara binatang terdengar semakin gaduh. Apakah suara itu dari binatang yang terbangun, karena apa? Atau ada lagi makhluk lain yang bersuara menyerupai binatang? Bermacam-macam pikiran muncul dalam ketakutan. Ketika sorot cahaya senter rombongan pendaki ‘teman’ kami tadi menyusul, suara-suara itu segera saja hilang, mungkin untuk sementra.

            Mendadak aku menemukan gagasan bagus yang segera aku utarakan kepada teman-teman, “bagaimana kalau mereka kita ajak berhenti sama-sama disini, mungkin mereka belum sadar akan keadaan ini, besok setelah siang apabila mereka ingin melanjutkan perjalanan silahkan”. Dan sesaat kemudian merekapun sampai di tempat istirahat kami, Deni menjelaskan semua dan mereka yang ternyata masih SMA memahami maksud kami. Sementara suara-suara aneh itu kembali muncul dari atas, seperti akan menghabiskan sisa malam ini dengan terror. Kami semua tidur bersama ditempat ini, yah tentunya demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan[6].

           

Dituntun pulang cahaya sang surya

            Pagi merekah, hangat cahaya mentari pagi membangunkan kami semua yang masih tertidur, lelah berjaga semalaman. Aku, dan juga teman-teman lain setidaknya merasa lega telah terbebas dari malam yang penuh terror meskipun suasana tetap mencekam hingga saat ini. ‘Teman’ kami dari Cirebon memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, kami telah mencoba menahan mereka namun agaknya keputusan itu telah menjadi kehendak mereka. Akhirnya kami berpisah setelah terlebih dahulu saling mendoakan untuk keselamatan masing-masing. Kami sendiri telah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Selain faktor ‘keadaan’ yang tidak memungkinkan kami juga telah kehilangan banyak waktu dalam pendakian ini. Hingga saat ini kami baru sampai di tanjakan bapa tere artinya bila terus mendaki tanpa halangan apapun, lepas tengah hari kami baru akan mencapai puncak. Tentunya kami mesti menginap satu malam lagi di gunung atau di base camp dan tidak bisa pulang hari itu juga. Tidak. Kami tidak akan sanggup menjalani terror seperti ini satu malam lagi.

            Aku masih malas, Adi malah masih tidur, Deni sudah membereskan perlengkapan dan siap untuk segera turun. Agak menyendiri Rohmad dan Simuh menyanyi berdua keras-keras, entah keanehan apa lagi yang mereka lakukan, semuanya masih belum dapat dimengerti oleh kami satu sama lain. Setelah kejadian pohon terbakar semalam memang banyak hal aneh yang sebagian diantara kami mengalami tapi sebagian lagi tidak. Pikirku mungkin perilaku Simuh dan Rohmad yang menyanyi keras-keras itu pasti karena ‘ada apa-apa’ tapi karena hal apa hanya mereka berdualah yang tahu.

            Dengan masih menyimpan rasa takut untuk melewati tempat-tempat yang menyeramkan semalam kami turun kembali ke base camp. Trauma kejadian-kejadian aneh itu tentu masih kami rasakan, tapi bagaimana, toh inilah satu-satunya jalan pulang dan bagaimanapun kami harus lewat sini juga, melewati kuburan kuda yang msterius itu.

            Kami terus berlari tanpa banyak bicara, Tanjakan Bin-Bin, Tanjakan Seruni, Kuburan Kuda telah terlewati dan kami sampai di Leuweng Datar. Dibawah sebatang pohon yang sangat besar (sebesar pelukan dua orang) ada sebuah warung yang cukup ramai oleh pendaki, kami beristirahat disini. “aneh” Rohmad membuka pembicaraan. “pohon terbakarnya tidak ada, padahal jelas jelas aku melihatnya di tempat itu semalam, aku ingat betul” lanjutnya yang diamini oleh simuh “tapi tadi hanya ada rumput yang bahkan masih hijau”.

            Hari terus beranjak siang, setelah Leuweng Datar kami tiba kembali di Cibunar dengan suasana yang tetap mencekam. Siang hari yang berkabut, misterius. Kami sempat sholat Dhuhur di tempat ini[7] dan seterusnya melanjutkan perjalanan setelah sempat mengambil foto beberapa kali[8].

            Desa linggarjati telah lewat, kami telah berada kembali di jalan aspal. Rohmad dan Simuh berjalan paling depan, cepat sekali seperti tidak mempedulikan teman-teman lain, entah kenapa, sepertinya mereka ingin segera meninggalkan Ciremai secepatnya. Aku, Deni, dan Adi sebaliknya berjalan tertatih seperti merasakan beban yang sangat berat. Beberapa kali kami tertinggal oleh simuh dan rohmad karena terlalu sering berhenti. “sudah, kalian duluan saja, nanti tunggu di perempatan cilimus dekat patung kuda putih, kata Deni, nanti kami segera menyusul. Sampai di Cilimus kami segera naik bus jurusan Ciamis, hari mulai merambat sore.

 

Derita belum berakhir

            Perjalanan pulang ini sangat menjengkelkan, tapi juga menyenangkan dan sangat indah untuk dikenang. Kami naik Bus yang sudah sesak dengan penumpang, apa mau dikata hari sudah sore sedangkan bus jurusan Cirebon-Ciamis sangat langka, lama kami menunggu tak ada bus lewat, adapun penuh dengan penumpang seperti yang kami tumpangi ini. Tubuh yang telah sangat lelah masih dipaksa untuk berdiri berdesak-desakan di bus, tapi tak apalah karena menjelang perbatasan Kuningan-Cikijing kendaraan penunpang mulai berkurang dan beberapa diantara kami mendapatkan tempat duduk. Sempat pula ada cerita lucu di sisa perjalanan ini, aku duduk bersebelahan dengan seorang bapak yang akan pergi ke Tasik. Pertama dia menyapaku dalam bahasa sunda, karena aku orangnya suka jaga gengsi akupun turut berbicara dalam bahasa sunda yang belepotan tak karuan. Perbincangan semakin hangat setelah diketahui kami berasal dari Jogja dan ternyata Bapak itu juga berdagang di Timoho, dan tinggal di Demangan dekat kampus kami, ah semua serba kebetulan.

            Lalu teman-teman yang lain? Semua sudah duduk manis kecuali simuh yang masih harus berdesakan lagi karena penumpang kembali bertambah. Malang baginya, seorang anak kecil mabuk perjalanan dan muntah tepat di celananya. Padahal dia sendiri sudah bertahan sekuat tenaga agar tidak mabuk perjalanan. Baru setelah melewati Cikijing bus baru benar-benar sepi. Aku mulanya duduk di depan, tapi demi melihat ada sesuatu yang ‘bening’ di belakang akhirnya aku pindah, diikuti oleh Adi. Lumayan, ada pemandangan penghalau rasa lelah, maskipun hanya sebentar bersama-sama tapi kejadian ini menjadi cerita anu teu tiasa dilupakeun[9]

            Sampai di Ciamis waktu telah lewat maghrib. Mungkin karena sudah tidak tahan lagi Simuh melepas celana panjangnya di pinggir jalan. Tak lama berselang bus jurusan Solo pun lewat. Bus ini melewati Kota Banjar sehingga kami tidak perlu menunggu kendaraan lain untuk pulang ke Banjar. Sepanjang perjalanan masih tersisa pula sedikit canda tawa. “kalau kita kecapekan dan ketiduran di dalam bus ini, malah jadi praktis soalnya kita akan langsung pulang ke Jogja”.

            Pukul delapan malam Mamah dan Adi sudah menjemput di Terminal Banjar. Kami kembali ke rumah Deni, mandi, makan malam dan ngobrol sebentar membahas pendakian tadi. Beberapa misteri yang belum terungkap akhirnya terjawab setelah kami saling ‘sharing’ dan bertukar cerita.

 

Akhirnya semua terjawab sudah

            Malam yang lelah ditemani secangkir kopi panas. Setelah mandi dan badan kembali segar malam ini kami duduk-duduk bersama di ruang teras. Sedikit ‘evaluasi’ tentunya atas pendakian yang baru saja dilaksanakan. Permasalahan utama tentunya kenapa kami tidak kompak. Ada yang lelah, ada yang ingin cepat-cepat, ada yang melihat berbagai kejadian aneh, ada pula yang tidak tahu apa-apa.

            Segala keanehan ini sebenarnya dimulai sejak kami berada di Cibunar, suasana yang aneh, mencekam, barangkali hari ini adalah hari ‘penting’ bagi sang Ciremai yang sedang berhajat, mungkin. Ketidakpahaman kami memperparah keadaan ini. Canda tawa yang kelewat batas dan semuanya. Setelah kami renungkan ternyata benar juga, sejak di Cibunar kami seperti sedang diawasi oleh sesuatu, tapi apa entahlah.

            Kemudian hujan yang tiba-tiba turun deras. Menurut Deni, sebenarnya itu merupakan pertanda bahwa sebaiknya kami jangan melanjutkan perjalanan, kami semua setuju dan membenarkan pernyataan Deni ini. Lalu yang paling mengagetkan semua adalah pengakuan Rohmad soal pohon terbakar itu. Ditengah pohon yang berasap itu, tepat ditepi jalan ternyata Rohmad melihat sesosok perempuan yang ‘antara ada dan tiada’, tidak perlu dijelaskan panjang lebar soal hal ini. Dan yang aku salut luar biasa adalah kebijaksanaan Rohmad untuk tidak bercerita kepada siapa-siapa diantara kami waktu itu. Tak dapat kubayangkan betapa paniknya kami bila waktu itu Rohmad bercerita atau menjerit histeris. Sebuah keadaan yang kuakui sangat sulit, bahkan bila aku membayangkan menjadi Rohmad yang mengalami hal itu.

            Kemudian setelah pagi datang, ketika ‘teman kami dari Cirebon’ sudah berangkat kepuncak, saat Rohmad dan Simuh menyanyi keras-keras. Ternyata ‘mata’ yang mengawasi kami itu masih saja menguntit. Simuh sendiri merasa seperti selalu ingin melihat kearah ‘mata, itu berada. Sekelebat bayangan putih beberapa kali nampak didepan Simuh dan Rohmad pagi itu. Keanehan belum habis ketika kami kembali turun. Pohon terbakar semalam ternyata tak pernah kami temukan hingga sampai di base camp. Bekasnya pun tak ada, hanya ada rerumputan yang bahkan sangat hijau, sungguh aneh. Tapi secara keseluruhan misteri ini tak pernah terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi di Gunung Ciremai? kenapa binatang-binatang berteriak-teriak mengerikan malam itu? Lalu kejadian yang menimpa kami, apakah karena kesalahan kami atau memang hari itu benar-benar harinya Ciremai. kalau benar begitu bagaimana keadaan teman-teman kami yang terus naik ke puncak. Semua tidak pernah terjawab hingga sekarang.

Pulang dengan kemenangan

            Esoknya kami pulang kembali ke Jogja dengan menumpang kereta yang lagi-lagi sangat penuh sampai-sampai kami hampir tak bisa terangkut kereta. Simuh bahkan terpisah gerbong dengan kami dan tidak pernah bertemu di dalam kereta sampai turun kembali di Stasiun Lempuyangan. Perjalanan panjang di dalam kereta menjadi kenangan yang tak terlupakan oleh kami. kereta yang sangat padat dengan penumpang sampai-sampai kamar mandinya yang baunya luar biasa itupun penuh dengan penumpang juga. Sementara para pedagang asongan seperti tidak peduli dengan keadaan ini demi bisa mengais sedikit rejeki. Pemandangan yang menjengkelkan tapi sangat mengetuk hati kami.

Sepanjang perjalanan kami harus berterimakasih kepada ‘teman baru’ kami yang berasal dari Subang dan akan pergi ke Kediri. Entah karena kasihan atau simpati dia ‘merelakan’ kursinya untuk dipinjam oleh kami. Tapi kursinya cuma satu, sedangkan kami bertiga. Tiba-tiba aku menemikan gagasan bagus, aku buat ‘jadwal duduk’ yaitu dari Gombong sampai Kutoarjo giliranku duduk, setelah itu Kutoarjo sampai wates giliran Rohmad duduk, sisanya jatah Adi sampai Jogja dan kami mengembalikan ‘kursi ini kepada pemiliknya’. Sedangkan simuh sendiri kami tak tahu bagaimana kabarnya. Awalnya Adi kusuruh menduduki tasku yang karena tidak ada tempat lain aku letakkan saja di tengah jalan, daripada ditendang orang lewat kusuruh saja Adi mendudukinya, tapi dasar hari sedang sial adi beberapa kali terhimpit oleh pedagang yang memaksa menerobos kerumunan. Ada pula pedagang ibu-ibu yang mendesak muka Adi dengan ‘bagian pentingnya’, Aku dan Rohmad tertawa geli. Semestinya Adi senang dapat rejeki, tapi ia justru illfill melihat bentuk sang penghimpit yang tidak sesuai dengan harapan. Sore hari pukul 4.30 kami sampai kembali di Jogja. Adi di jemput di Stasiun sehingga Aku tinggal betiga saja dengan Simuh dan Rohmad berjalan kaki sampai ke kampus☻

 

 
[1] Awalnya judul yang dipilih untuk catatan perjalanan ini adalah “kuburan kuda”, namun dengan berbagai pertimbangan akhirnya penulis mengganti judul kuburan kuda menjadi “menyerah di linggarjati”

[2] Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3078 Mdpal. Secara administratif berada di wilayah Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Majalengka. Sekilas memang tidak terlalu tinggi, tapi bila kita melihat ketinggian datumnya (dasar kaki gunungnya) yang berkisar antara 800-1100 Mdpal, maka baru kita akan mengetahui betapa panjangnya jalur menuju Puncak Ciremai. Pendakian Gunung Ciremai konon memiliki lebih dari tujuh jalur, tapi secara resmi terdapat tiga jalur yang telah familier di kalangan pendaki gunung yaitu Jalur Linggarjati, Kuningan (800 Mdpal), jalur Palutungan, Kuningan (1100 Mdpal), dan jalur Apuy, Majalengka. Dari ketiganya Jalur Linggarjati merupakan jalur yang paling terkenal dan banyak diminati oleh para pendaki.

[3] Ketika bus yang kami tumpangi melewati kota Cikijing tepatnya berhenti sebentar untuk menambah penumpang di pasar Cikijing, ada kejadian yang sungguh tak disangka-sangka. Ketika kami memandang keluar jendela bus ada dua orang pemuda berjalan memasuki pasar. Satu diantaranya memakai saputangan sebagai cadar penutup wajah, mungkin karena panas. Tapi dari bentuk tubuhnya, baju batik dan saputangannya kami langsung mengenali sosok itu sebagai Ade, sahabat kami yang memang budak kasep made in Cikijing sungguh kejadian yang tidak sengaja. “ketua BEMFISE ternyata kalau mudik mainnya di pasar” kata-kata itu yang rasanya segera ingin aku wartakan di seantero kampus. Kami semua tertawa geli di dalam bus setelah lelah meneriaki Ade yang tidak mendengar panggilan kami.

[4] Base camp Linggarjati berada di desa linggarjati merupakan tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi. Tempat ini memiliki daya tarik terutama dari segi pariwisata. Panorama alamnya yang eksotis telah banyak dikembangkan sebagai daerah pariwisata, sehingga pendaki yang akan menuju base camp terlebih dahulu melewati daerah wisata ini. Satu lagi yang tentunya tidak bisa dilupakan begitu saja adalah wisata sejarah Perundingan Linggarjati pada masa perang mempertahankan kemerdekaan dahulu. Tempat bekas perundingan ini sekarang telah dijadikan museum yang pada waktu-waktu tertentu dapat pula dikunjungi. Menuju base camp Linggarjati akan sangat menyenangkan bila dilakukan dengan berjalan kaki. Memang sangat melelahkan akan tetapi justru kita dapat menikmati langsung berbagai keindahan dan obyek wisata yang ada, selain tentunya penghematan bagi pendaki dengan dana sedikit.

[5]  Cibunar sebenarnya adalah Pos I pendakian Gunung Ciremai Jalur Linggarjati, tapi tempat ini lebih layak disebut sebagai base camp, karena base camp sesungguhnya justru berada di tengah-tengah permukiman penduduk di Desa Linggarjati, tidak seperti base camp pada umumnya yang merupakan tempat terakhir sekaligus sebagai batas antara permukiman dengan hutan. Di Cibunar banyak terdapat gubuk yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat berteduh, beberapa diantaranya benar-benar berbentuk rumah dengan berdinding papan, lengkap dengan pintu dan kunci gembiknya, dalam pikiranku tempat ini mungkin biasa digunakan dalam hari-hari ramai seperti tujuh belas Agustusan, Tahun Baru, dan sebagainya. Di Cibunar ini persediaan air melimpah, pendaki dapat mengambil sebanyak-banyaknya untuk bekal karena sudah tidak akan ada lagi sumber air hingga sampai di pucak.

[6] Sebenarnya aku punya maksud lain menahan serombongan pendaki dari Cirebon itu untuk ‘berhenti’ bersama kami. selain karena keadaan yang tidak memungkinkan, aku merasa semakin aman bila kami dan mereka berjaga bersama-sama

[7] Di Cibunar ada telaga kecil. Ditengahnya berdiri sebuah mushola yang kaki-kakinya ditanam didasar kolam (telaga). Musholanya cukup bagus dan terawat, setidaknya untuk standar tempat di gunung yang jauh dari permukiman penduduk. Di sebelahnya terdapat pancuran yang biasa digunakan untuk wudhu, Air dari pancuran inilah yang mengisi telaga kecil itu. Di bagian atas pancuran ada sebuah batu besar yang dipagari yang konon itu adalah makam.

[8] Kami sempat mengambil foto dengan kamera manual. Tapi entah karena kesalahan pada kamera atau karena faktor lain foto yang kami ambil tidak ada yang jadi.

[9] Yang takkan bisa dilupakan.